Kamis, 11 Maret 2010

Dualisme Nikah Sirri

Oleh: Hermanto Harun & Adi Irfan Jauhari
Nampaknya,

dialetika ‘komunikasi’ agama versus negara di Republik ini seolah tak kunjung usai. Karena pada satu sisi, negara seolah tidak ingin campur tangan dalam gawe keagamaan. Namun sisi lain, negara berkewajiban menertibkan segala persoalan rakyatnya, termasuk urusan keagamaan. Secara spesifik, dialetika ini bisa dilihat dalam perdebatan RUU tentang perkawinan. Sebagaimana penjelasan Nasarudin Umar, Direktur Bimas Islam Depag, RUU ini akan memperketat pernikahan siri, kawin kontrak, dan poligami. RUU tersebut sempat dihebohkan oleh media negeri demokratis ini.

Sebelum kontroversi RUU ini, persoalan yang hampir serupa juga pernah mencuat. Kasus Pujiono Cahyo Widianto alias Syeh Puji yang mengawini Luthfiana Ulfa gadis belia usia 11 tahun juga tak kalah heboh. Meski nuansa hukumnya berbeda, tapi akar permasalahanya bisa dipandang sama yaitu polemik seputar nikah sirri. Pujiono dengan gaya eksentriknya, membuat penjara nikah sirri sebagai aksi, bahwa jika nikah sirri memang tidak sah, maka ia siap dipenjara pada bangunan yang telah dibuatnya sendiri. Semenjak itu, pro-kontra nikah sirri menjadi polemik yang cukup seksi untuk dikupas, apatah lagi jenis pernikahan ini dibalur dengan kepentingan-kepentingan para pihak yang merasa diuntungkan. Juga, jika pembahasan ini ditarik ke ranah perdebatan fiqih, semakin mempertegas pro-kontra tersebut.

Dalam perspektif fiqih yang memiliki karakter opsional sebagai konsekwensi perbedaan hasil ijtihad, sudah dapat dipastikan, perbedaan sudut pandang (ikhtilaf) akan selalu ditemukan. Selama masalah tersebut tidak masuk wilayah qath`I, maka pasti dtemukan dua pendapat yang saling berhadapan. Wilayah silang pendapat ini sering menjadi grey area (wilayah abu-abu) yang kerap terasa samar dan bahkan disamarkan. Di Wilayah perbedaan dan perdebatan ini yang kemudian dijadikan justifikasi para pelaku nikah sirr.

Term nikah sirri sendiri berasal dari kata sirr yang secara bahasa berarti sembunyi atau sepi. Sebab jenis perkawinan ini pada umumnya dilaksanakan dengan dihadiri oleh kalangan terbatas, secara diam-diam dan tanpa adanya pegawai pencatat nikah. Kontroversi sah dan tidaknya perkawinan ini seakan mempertegas adanya ambiguitas hukum ditengah masyarakat muslim Indonesia antara hukum formal dan agama (fiqih). Satu sisi pernikahan sirri dikatakan sah dalam perspektif fikih (jika telah terpenuhi syarat dan rukun), tanpa menghiruakan pencatatan perkawinan. Sementara pada dimensi hukum formal, pernikahan ini tidak diakui oleh hukum perdata nasional (Illegal) yang berimplikasi pada konsekwensi administrasi dan legal standing dari perkawinan. Dalam hal ini, yang paling menderita dan menanggung kerugian dalam kasus ini adalah pihak wanita.

Dualisme antara hukum formal (negara) dan agama (fikih) sepanjang sejarah negeri ini sangat berliku, karena usaha transformasi hukum fikih ke dalam undang-undang negeri ini tidak lah mudah. Pada masa pendudukan Hindia Belanda, dikenal salah satu teori formulasi hukum agama ke dalam perundangan yaitu teori Receptio in cemplexu. Teori ini menyatakan bahwa tiap individu muslim terikat secara utuh dengan hukum Islam sebagai sebuah agama yang dianutnya. Faham teori ini dibesarkan oleh tokoh-tokoh seperti LWC Van Den Berg, Salomon Keizer, dan C. Frederik Winter. Berlandaskan teori ini, maka pemerintah Hindia Belanda membentuk pengadilan agama di pulau Jawa dan Madura pada tahun 1882 yang memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa perkawinan dan kewarisan. Dalam perjalanannya kemudian, bermunculan teori-teori hukum di negeri ini sebagai anti tesa dari teori sebelumnya, salah satunya adalah teori eksistensialisme yang mengemukakan bahwa ; Hukum Islam adalah sebagai bagian integral dari hukum nasional.

Hukum Islam ada sebagai sebuah kemandirian, kekuatan dan kewibawaan yang diakui oleh hukum nasional dan merupakan hukum nasional Indonesia.
Norma hukum Islam berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional

Petikan sejarah di atas merupakan sebuah embrio dari upaya positivisasi hukum agama, mengingat selama kurun waktu 13 abad, Huku Islam hanya menjadi serpihan teks-teks fiqih. Meski harus diakui bahwa pelembagaan hukum Islam belum sampai pada totalitas lini kehidupan muslim Indonesia. Kendati demikian, pada era kekinian, geliat pelembagaan hukum Islam yang merasup via Perda di berbagai daerah cukup signifikan, khususnya provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pelembagaan fiqih ke dalam undang-undang (taqnin) adalah sebuah keharusan dalam rangka implementasi teks hukum menjadi aturan yang bersifat mengikat dan imperative, sebab harus diakui bahwa hukum fiqih tidak memiliki daya jelajah dalam wilayah penerapanya (tathbiq) sebagai aturan yang mengikat selama tidak diundangkan. Bukan kah orang bebas untuk memilih atau memformulasi mana pendapat yang ia yakini atau hanya sekadar ia sukai dengan tendensi yang masing-masing individu miliki (talfiq). Maka dalam catatan sejarah Islam, Khalifah Umar ra. Dikenal sebagai seorang pemimpin yang mempunyai nalar ijtihad dalam mengimplementasikan hukum (thatbiqi). Nalar Umar ra, begitu memukau, bahkan sebagian ulama menyebutnya “kontroversial”. Hal ini memperjelas bahwa hukum pada ranah teks sangat dimungkinkan mengalami pergeseran ketika memasuki ranah implementasi, tentu dengan catatan tidak keluar dari substansi hukum itu sendiri.

Kekakuan teks hukum menjadi sebuah kekhasan bagi dirinya (lex dura sed tamen scripta) atau hukum itu keras, kaku tetapi begitulah sifat tertulis itu. Sejak hukum itu berubah dari substansinya menjadi teks dan skema kebahasaan maka kita berhadapan dengan subtansi pengganti (surrogate) bukan lagi barang asli. Dari sini, tidak lagi membicarakan “hukum sebenarnya” melainkan “mayat-mayat hukum”. Ketika berpegang pada teks hukum semata, maka ada satu lorong yang terabaikan atau paling tidak menyempit, yaitu berhukum dengan akal sehat (fairness, reasonableness dan common sense). Berhukum berdasarkan teks semata memiliki kecenderungan kuat untuk berhukum secara kaku dan regimentatif. Cara berhukum yang demikian itu, apalagi yang sudah bersifat eksesif menimbulkan berbagai persoalan besar, khusunya dalam kehidupan bermasyarakat dan berkeadilan. Maka atas dasar ini, berhukum haruslah memperhatikan pula aspek yang ditimbulkan secara determinisme atau sebab musabab yang ditimbulkan. Ini yang dikenal dalam kerangka metode istinbat dengan nama illat dan atau manathu al-hukm.

Dalam konteks pernikahan sirri, secara de facto telah melahirkan setumpuk permasalahan, kemudaratan dan memiliki nilai minus secara moral. Dengan hanya bersandar pada legitimasi fikih dan mengabaikan subtansi dan tujuan perkawinan itu sendiri, sirri merupakan proses desakralisasi perkawinan yang sejatinya merupakan ikatan mulia dan kuat. Kekuatan ikatan ini yang dibahasakan al-Qur’an dengan mitsaqa ghaliza. Pembiaran terhadap jenis perkawinan ini adalah merupakan dukungan terhadap penjajahan dan imperialisme kaum hawa melalui tameng legitimasi hukum Islam.

Dengan kasat mata, kasus-kasus sirri, nilai-nilai moral menjadi sisi yang dimarginalkan dan dikesampaingkan begitu saja. Sebab, terlalu mengandalkan hukum normative pada dimensi sah dan tidak. Padahal menurut Jeremy Bentham, hukum dan moral itu merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. hukum harus bermuatan moral dan moral memiliki kemestian muatan hukum. Hukum yang sehat adalah hukum yang memiliki legitimasi atas keabsahan yang logis, etis dan estetis dalam bidang hukum yuridis.

Maka sudah dapat dipastikan, sebagaimana sifat hukum perdata yang mengatur (aanvullrenrecht) dan membatasi (to restrict), akan melahirkan segmen-segmen tertentu yang merasa tidak puas terhadap hukum. Lebih lanjut, Bentham menyatakan bahwa manusia pada umumnya akan bertindak dan berusaha untuk mendapat kebahagiaan yang sebesar-besarnya. Namun dengan adanya hukum, hal tersebut menjadi tereduksi dikarenakan adanya persinggungan individu dalam meraih kebahagiaan tersebut. Dalam konteks ini, tentu kebahagiaan yang akan didapat oleh masyarakat lebih luas akan dikedepankan. Hal tersebut tergambar dalam teori utilitarisme yang terkenal dengan semboyan the greatest happiness for the greatest number (memberikan kebahagiaan terbesar bagi masyarakat banyak).

Akhirnya, dengan kalimat sederhana, agaknya dapat diambil kongklusi, bahwa, pada intinya, hukum adalah bertujuan untuk kemaslahatan umum, dus mencegah kerusakan. Maka, bagi mereka yang tetap bertahan dengan legitimasi sirri dengan berargumentasi normativitas fiqih, tepat untuk merenungkan sebuah kaidah “mencegah kemudaratan itu lebih diutamakan dari mendatangkan manfaat (dar`u al-mafasid muqaddam ala jalbi al-masalih). Bukankah begitu? Wallahu a`lam.

Tidak ada komentar:

Terima Kasih