Jumat, 28 Agustus 2009
Gangguan Jiwa Gara-gara Facebook dan Blackberry
Pelajaran dari Sipadan dan Ligitan
Pasang surutnya hubungan kedua negara tak lepas dari adanya kesamaan latar belakang budaya dan sejarah. Sama-sama berbasis budaya Melayu. Bahasa yang dipakai juga berasal dari akar yang sama dan berada dalam rivalitas siapa yang menjadi ''raja'' Melayu.
Sayang, dalam rivalitas itu, Malaysia bersikap kurang sportif. Kekayaan budaya Indonesia sering diklaim Kuala Lumpur. Bukti terakhir adalah kasus tari pendet yang menjadi bagian kampanye pariwisata mereka. Wajar kita curiga bila Bali yang masyhur di seantero dunia itu ingin dimanfaatkan Malaysia untuk membangkitkan gairah dunia pelancongan mereka.
Ini bukan yang pertama, tentu. Kita masih ingat kasus reog Ponorogo atau lagu Rasa Sayange yang membuat emosi rakyat Indonesia seperti api tersiram bensin. Perasaan itu tergambar dari pernyataan SBY yang meminta agar pemerintah Malaysia menjaga sensitivitas bangsa Indonesia.
Bukan hanya di bidang budaya, Malaysia juga melakukan manuver dalam klaim batas negara. Kasus Laut Ambalat, misalnya. Sampai saat ini, negeri jiran itu berusaha mengambil alih. Beberapa kali kapal perang mereka memasuki kawasan kaya minyak wilayah NKRI itu.
Menghadapi manuver dan tekanan Malaysia tersebut, kita tak boleh lengah. Masih ingat kasus perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan. Pulau strategis itu akhirnya jatuh ke tangan Malaysia setelah melalui proses di Mahkamah Internasional dan kini telah menjadi salah satu ikon pariwisata negeri tersebut. Kita hanya bisa gigit jari.
Kasus lepasnya Sipadan dan Ligitan tersebut menjadi pelajaran berharga. Malaysia menang karena secara intensif memberi perhatian terhadap pulau itu. Mereka mendirikan bangunan sebagai simbol bahwa mereka telah ''merawat'' dan menjadi pemilik pulau indah itu.