Kamis, 04 Februari 2010
Pencandu Internet adalah Orang Stres?
KOMPAS.com — Bukan hanya untuk mencari berita terkini, kegiatan membaca buku, membayar rekening listrik, hingga curhat dengan sahabat di belahan dunia lain kini bisa dengan mudah dilakukan menggunakan fasilitas internet.
Rasanya, hidup kita sekarang tak mungkin dipisahkan dari internet. Bahkan, bangun tidur pun yang dilakukan pertama kali adalah membuka internet untuk meng-update status di situs jejaring sosial.
Namun, waspadailah bila waktu Anda berselancar di dunia maya ini sudah masuk pada zona kecanduan. Studi teranyar menunjukkan bahwa 1,2 persen orang yang kecanduan internet cenderung mengalami depresi. Kesimpulan ini dihasilkan berdasarkan survei yang dilakukan secara online terhadap 1.310 pengguna internet.
Responden dalam survei ini berusia 16-51 tahun. Mereka ditanyai durasi penggunaan internet dan tujuannya. Para responden juga diberi beberapa seri pertanyaan untuk mengetahui apakah mereka menderita depresi.
Peneliti menemukan bahwa sejumlah responden mempunyai dorongan tinggi untuk berinternet hingga menggeser kehidupan sosial di dunia nyata. Mereka lebih suka berkomunikasi lewat situs jejaring sosial atau chat room. Sebanyak 1,2 persen responden tergolong dalam pencandu internet. Mereka lebih banyak berinteraksi di situs jejaring sosial, perjudian, atau situs porno.
Ketua peneliti, Dr Catriona Morrison, mengatakan bahwa di dunia modern ini internet memegang peran yang sangat penting tetapi diiringi dengan sisi gelap. Para pencandu internet lebih rentan depresi dibanding pengguna internet biasa.
"Banyak pengguna internet yang lebih mudah mengurus tagihan rekening, membalas e-mail, atau berbelanja. Namun, mereka juga mengaku sulit membatasi waktunya untuk memakai internet hingga mengganggu kehidupan nyata," paparnya.
Morrison mengungkapkan, belum diketahui apakah penggunaan internet yang berlebihan menyebabkan depresi atau mereka adalah orang-orang depresi yang menenggelamkan diri di dunia maya.
DrVaugn Bell dari Institute of Psychiatry di King's College London mengatakan, secara definisi, orang yang "kecanduan internet" memang secara emosional tertekan. Dengan demikian, ia berpendapat bahwa hasil studi ini tidak mengejutkan.
Studi ini menguatkan studi sebelumnya yang menyatakan bahwa orang yang stres atau dilanda kecemasan cenderung menggunakan internet lebih sering dibanding orang yang emosinya stabil. Menurut para pakar, cara seseorang dalam bersosialisasi akan berdampak pada kesehatan mentalnya.
"Para pencandu internet mulai kehilangan makna pertemanan karena menggantinya dengan teman-teman virtual di jejaring sosial. Hal ini mungkin memengaruhi kesehatan mental mereka," kata Sophie Corlett dari Mental Health Charity Mind.
Ia menambahkan, sosialisasi seharusnya dilakukan lewat kegiatan tatap muka, dan interaksi langsung merupakan salah satu faktor yang membuat mental kita selalu dalam keadaan sehat. Biar bagaimanapun, manusia adalah makhluk sosial.
Dengan Ikhlas, Penyakit pun akan Sembuh!
JAKARTA, KOMPAS.com - Jiwa adalah sebuah potensi yang tidak tampak tetapi efeknya luar biasa. Dengan menggunakan kekuatan jiwa, beragam penyakit mulai dari yang ringan hingga berat sebenarnya dapat disembuhkan.
Seperti diungkapkan praktisi dan pengajar penyembuhan holistik, Reza Gunawan, pada dasarnya setiap manusia bisa menyembuhkan dirinya sendiri, tapi tidak semua orang tahu caranya. Salah satu kunci kekuatan jiwa yang dapat menyembuhkan penyakit adalah perasaan ikhlas.
Menurut Reza, rasa ikhlas secara sederhana dapat diartikan dengan perasaan berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
"Ikhlas adalah sesuatu yang mungkin hanya dapat digambarkan dengan perasaan seperti ini. Apapun kenyataan hidup, sudah tidak lagi berbenturan dengan keinginan dan hasrat karena kita sudah bisa menerima dengan apa adanya," ungkap Reza.
Ikhlas, terang Reza, dapat menyembuhkan dengan cara menyelaraskan tubuh dan pikiran, selain juga menetralisir pikiran dan perasaan supaya tidak terpendam dan menumpuk dalam hati. Ikhlas merupakan bagian dari konsep sehat secara holistik yakni keselerasan dan keseimbangan antara tiga unsur yakni tubuh (body), pikiran (mind) dan jiwa (mood).
"Kalau badan kita sudah muncul keluhan seperti sakit-sakit, itu berarti timbunan dalam pikiran dan jiwa sudah terlalu banyak. Dengan hati yang ikhlas, gelombang dan detak jantung menjadi lebih selaras atau harmonis. Jantung itu pemimpinnya tubuh karena dengan jantung yang selaras maka otak berfungsi maksimal. Kalau jantung atau perasaan kita korslet, otak tidak akan bisa berfungnsi maksimal. Jadi, dengan ikhlas jelas akan membuat tubuh menjadi lebih sehat," paparnya.
Untuk mencapai dan mewujudkan perasaan ikhlas dalam hati, Reza menyatakan setiap orang tentu memiliki kemampuan berbeda. Untuk itulah, Reza menyarankan untuk membiasakan diri berlatih secara bertahap dan rutin.
"Ada tiga langkah yang dapat dilakukan untuk melatih diri supaya ikhlas, yang pertama Sering-seringlah berhenti dan bernafas untuk mengistirahatkan pikiran, ingat bahwa sesuatu tidak ada yang kekal dan belajar untuk menerima atau mengikhlaskan diri dari tahap yang paling mudah," tandasnya.
Tiga Tips Melatih Ikhlas
1. Sering-seringlah berhenti dan bernafas (rileks) untuk mengistirahatkan pikiran. Manusia seringkali sulit mencapai keikhlasan karena pikirannya jalan terus. Dengan latihan ini, kita juga akan bebas dari ketegangan.
2. Selalu ingat bahwa segala sesuatu selalu akan berubah. Seseorang susah ikhlas karena menilai segalanya bersifat kekal, padahal apa yang tidak kita dapatkan sementara ini pada suatu hari nanti akan berubah. "Tidak ada yang kekal atau tetap, mungkin situasinya yang berubah atau keinginan kita yang berubah. Jadi apa yang kita sukai atau pun kita tak sukai tentu akan berubah," terang Reza..
3. Start di titik yang paling mudah. Belajarlah untuk mulai menerima hal-hal yang ringan atau gampang dulu. Untuk bisa merasa ikhlas memang tidak mudah dan terpulang kepada pribadi masing-masing. Tetapi mulailah untuk menerima kenyataan yang paling ringan dulu. Dengan begitu, otot ikhlas kita akan terlatih.
Reza mencontohkannya dengan sebuah kasus ketika Anda marah karena tak bisa menerima bos di kantor yang tak berlaku adil. Kalau Anda tidak bisa memaafkan orangnya, cobalah untuk memaafkan atau mengikhlaskan dulu perilakunya. Bila ini masih sulit, mulailah untuk mengikhlaskan perasaan kita bahwa kita sedang marah.
"Kalaupun memang tidak bisa juga ikhlas dengan perasaan kita sendiri, minimal ikhlaskan dulu bahwa kita memang belum bisa ikhlas. Jadi, pada tahap paling ringan itulah yang dapat menjadi pintu paling gampang menuju gerbang keikhlasan," pungkasnya.
Langganan:
Postingan (Atom)