Rabu, 20 Agustus 2008

Do'a Minta Jodoh



Ya Tuhanku, Kalau dia memang jodohku, dekatkanlah…
Tapi kalau dia bukan jodohku, jodohkanlah…
Dan jika dia tidak berjodoh denganku, maka jadikanlah kami berjodoh...
Ya Tuhanku, Kalau dia bukan jodohku,
jangan sampai dia mendapatkan jodoh yang lain,selain aku seorang…Kalau dia tidak bisa dijodohkan denganku,
jangan sampai dia mendapatkan jodoh yang lain,
biarkan dia tidak berjodoh sama seperti aku…
Dan pada saat dia telah tidak memiliki jodoh,
jodohkanlah kami kembali…
Ya Tuhanku, Kalau dia jodoh orang lain, putuskanlah!
Jodohkanlah dengan ku…
Jika dia tetap menjadi jodoh orang lain,
Biarkanlah orang itu bertemu jodoh dengan yang lain dan kemudian jodohkan kembali dia denganku…
Ya Tuhanku, kabulkanlah doa dan permohonan hambamu ini…
Amin…................................................................................................!

Oleh : Haeran, SS
Situasi manusia di zaman modern menjadi penting untuk dibicarakan, mengingat kehidupan manusia dewasa ini menghadapi bermacam-macam persoalan yang benar-benar membutuhkan pemecahan dengan segera. Sebagian masyarakat merasa cemas tentang eksistensi peradaban manusia itu sendiri. Ia merasa bahwa problema di dunia modern justru disebabkan oleh perkembangan sains dan teknolgi yang diciptakan manusia. Dibalik kemajuan dan perkembangan itu telah menyimpan suatu potensi yang dapat menghancurkan martabat manusia. Umat manusia telah berhasil mengorkanisasikan ekonomi, manata sturktur politik serta membangun peradaban yang maju. Tapi pada saat yang sama manusia terbelenggu dan telah menjadi tawanan dari hasil ciptaannya.
Sejak manusia memasuki abad modern, yaitu membebasan diri dari mito-mitos dan dari pemikiran bahwa manusia tidak dapat menentukan kehidupan sendiri, karena nasibnya telah dikuasai oleh para dewa, manusia telah mampu membebaskan diri dari pemikiran irasional dan belenggu hukum alam yang sangat mengikat kebebasan manusia menuju pemikiran rasional. Tapi ternyata manusia modern tidak dapat melepaslan diri dari jenis belenggu lain, yaitu penyembahan kepada diri sendiri.
Manusia modern dalam paham “Humanisme” yang memfigurkan manusia sebagai titik pusat alam yang bergerak ke arah pengukuhan manusia sebagai superman. Manusia merasa dirinya unggul, karena penemuan sains dan teknologi melalui otaknya. Manusia modern semakin berambisi untuk menaklukkan alam. Mereka beranggapan bahwa alam sebagai objek yang harus dimanfaatkan semaksimalnya untuk kepentingan hidup manusia tanpa ada rasa tanggung jawab sedikitpun. Akibatnya yang disaksikan sekarang ini ialah kemarahan alam balik memukul manusia dalam bentuk banjir, kekeringan yang berkepanjangan, pencemaran lingkungan (udara dan air), serta krisi energi.
Dalam konteks masyarakat modern, walaupun upaya yang dilakukan dengan mempergunakan berbagai metoda dan pendekatan untuk menanggulanginya, ternyata belum bisa diatasi dengan tuntas, karena memang ilmu pengetahuan yang dikembangkan kering dari nila-nilai spiritual, hanya berangkat dari paham humanisme, yakni sekularisme sebagai upaya pembebasan diri dari mitologi. Namun pada gilirannya menimbulkan visi baru. Revolusi ilmu pengetahuan yang mereka kembangkan dengan semangat non agama menghasilkan faham bahwa ilmu pengetahuan secara inheren bersifat bebas nilai.
Manusia modern juga melahirkan dimensi baru karena menganggap realitas kehidupan ini cuma materi. Mereka memfokuskan perhatian kepada materi sebagai titik tumpuan. Masyarakat begitu tertarik kepada propaganda kaum materialis yang menawarkan potensi materi dalam bentuk kehidupan. Alat-alat produksi baru dihasilkan teknologi modern yang sesungguhnya diciptakan untuk membebaskan mansia dari kerja ternyata menjadi alat perbudakan baru. Produksi baru yang dihasilkan teknologi dengan proses mekanisasi, otomatisasi, dan stanadarisasi, ternyata menyebabkan manusia yang semula merdeka dan menjadi pusat dari segala sesuatu, kini diturunkan derajatnya menjadi tak lebih sebagai bagian dari mesin. Karena proses inilah, maka pandangan tentang manusia menjadi tereduksi. Nilai manusia kini terdegradasi oleh proses kerja teknologi.
Akibat dari semua itu muncullah prilaku tak bertuhan (Atheisme), yang pandangan hidupnya tidak mengakui tuhan secara konsepsional, karena tuhan tidak dapat ditangkap dengan indra dan tidak dapat dirasakan langsung dalam bentuk pengalaman. Tuhan hanya hadir dalam pikiran dan tidak hadir dalam tindakan. Disamping konsepsional, atheisme juga muncul dalam pola prilaku yang nyata. Artinya, namusia begitu sibuk mencari materi, ia tidak punya waktu sedikitpun untuk merenungkan kemahakuasaan Tuhan, tidak lagi menghayati makna ketuhanan, apalagi untuk mengamalkannya. Atheisme semacam itu begitu banyak muncul dalam struktur masyarakat di abad ini, hanya saja manusia tidak begitu merasa, karena ia dibalut degan sistem-sistem kehidupan yang merangsang selera, yang mengandung kebutuhan dan kesempatan untuk hanya meraih kualitas duniawi. Masyarakat telah terjebak oleh format budaya yang materialis, hanya mengejar target duniawi yang glamour, dan hanya mengikuti irama kehidupa yang eksklusif. Ironisnya, manusia modern tidak punya waktu dan kesempatan berdialog dengan Tuhannya. Mereka mengalihkan fitrah bertuhan kepada nilai-nilai semu.
Bagaimana menyikapi semua itu dalam konsepsi Islam? Di dalam Islam, manusia digambarkan sebagai mahkluk merdeka. Akibat dari kemerdekaannya, manusia menduduki tempat terhormat. Dalam banyak ayat dari Al-qur’an, diserukan kepada manusia untuk menemukan esensi dirinya, memikirkan eksistensinya dan akan nilai kemanusiaannya, posisi manusia dalam Islam sangat penting.begitu pentingnya sehingga Allah memberinya tugas selaku khalifanya diatas bumi. (QS:33 : 72)
Dalam Islam tujuan hidup manusia jelas, segala aktivitasnya, kerja kerasnya, hidup dan matinya dipersembahkan hanya untuk Allah semata. Manusia muslim tidak pernah terjerat ke dalam nila-nilai palsu atau hal-hal tanpa nilai, sehingga tidak pernah mengejar kekayaan materi, kekuasan dan kesenagan hidup sebagai tujuan. Sebaliknya, mencari materi dan kehidupan dunia hanya sarana untuk mencapai keridaan Allah. Menurut ajaran Islam, aktulisasi diri manusia hanya dapat terwujud dengan sempurna dalam pengaddian kepada penciptanya. Sebagai manusia, hanya diperbolehkan mempunyai hubungan pengabdian kepada Allah Sang Khalik. Konsepsi ini menghendaki agar manusia muslim hanya melakukan penyembahan kepada penciptanya, bukan kepada sembahan –sembahan palsu buatan manusia.
Islam tidak mengenal adanya kompartementalisasi bidang kehidupan, pengembangan sains dan teknolgi merupakan bagian integral kehidupan seseo rang secara utuh, dan karena ilmu dan teknologi serta seluruh dimensi kehidupan lainnya terpadu dalam kehidupan tauhid. Manyusia muslim diharuskan mengembangkan sains dan teknologi, karena hal itu merupakan penopang kebahagian di dunia.Namun sains dan teknologi itu harus sesuai dengan ajaran Islam.
Islam sebagai agama wahyu berfungsi sebagai rahmatan lil’alamin (QS:21:107), Maka sains dan teknologi yang dikembangkaan sarjana muslim adalah membawa rahmat bagi seluruh umat manusia, bukan menimbulkan bencana dan laknat. Ilmu dan tekologi dalam pandangan Islam adalah syarat nilai, segala aktivitas manusia tidak netral, tidak bebas nilai dan bukannya tanpa kendali. Ilmu dan teknologi boleh saja dikembangkan seoptimal mungkin selama tetap berlandaskan nilai-nilai moral yang jelas, dan untuk mencapai keridaan Allah. Dengan landasan demikian, maka kemajuan dan kejayaan di dunia ini dengan perangkat materialnya, tidak menjadikan manusia itu gelisah, kawatir, terlena atau menjadi ingkar. Karena cita-cita dalam Islam mengenai kemajuan sesungguhnya bersifat sepiritual.

Marginalisasi Gender Terhadap Perempuan Dalam Cerpen "Makkunrai" : Antara Perlawanan dan Kepasrahan


Oleh : Haeran, SS

Setelah membaca cerpen “Makkunrai” terbitan Media Indonesia edisi Minggu, 11 Maret 2007, maka sangat menarik untuk menelusuri dan meneliti lebih lanjut terhadap isi kandungannya. Sesuai dengan judulnya, “Makkunrai”, yang dalam bahasa Bugis berarti perempuan, cerpen karya Lily Yulianti Farid ini mengangkat cerita tentang sisi-sisi perempuan, khususnya adat dan tradisi dalam masyarakat suku Bugis. Hal tersebut tampak akan adanya komparasi antara kepasrahan dan perlawanan yang lahir dari seorang perempuan yang terkungkung meski hidup nyaman karena secara pribadi memiliki segalanya, kecuali kebebasan. Kepasrahan karena kungkungan keluarga, sebaliknya perlawanan karena mencoba bangkit dari belenggu adat dan tradisi.
Kita sekarang memang tidak hidup di zaman jahiliyah, dimana kehadiran seorang anak perempuan terkadang tidak dikehendaki dan bahkan dibunuh, tetapi kita hidup di zaman dimana masyarakatnya sudah mampu memposisikan bahwa laki-perempuan sama saja। Namun, di awal cerita sang cerpenis mencoba mengingatkan kita kembali bahwa meskipun zaman sudah maju (modern), tidak selamanya anggapan tersebut benar adanya। Masih banyak orang berpikiran kolot dan tidak menghendaki lahirnya anggota baru dari keluarga mereka berjenis kelamin perempuan.
“Makkunrai। Kakekmu menyebut kata itu berulang-ulang. Anakku yang keenam telah lahir. Makkunrai……kakek tidak senang dengan kehadiranku.”
“Aku yakin ada adegan dimana kakek melihat cucu keenamnya perempuan lagi.”
“Ia mungkin akan mengingat-ingat detik-detik kelahiranku, saat ia kecewa tidak bisa mendapatkan cucu laki-laki।”

Membaca cerpen ini, kita seolah dingatkan pada perjuangan Kartini yang ketika hadir di dunia terbelenggu dengan aturan dan hukum, telah menempatkannya sebagai makhluk kedua। Kartini menolak aturan yang dibangun oleh tradisi dan budaya dengan memberontak। Ia mencoba menolak wacana bahwa perempuan boleh dimadu, harus patuh kepada aturan dan adat, kepada suami dan kepada bapak, tidak punya hak memeberikan suara apalagi berpendapat, tidak boleh mengatur ataupun memilih। Ia dengan kritis menyikapi semua aturan tersebut। (Dr. Free Hearty M, Hum / Padang Ekspres, 21 April 2007).
Belakang ini semakin banyak pihak mengusung ide tentang kesetaraan gender (gender equality), ketika itu pula tidak sedikit diantara mereka yang kemudian terjebak pada nuansa berpikir dikotomis. Yang terjadi kemudian, posisi laki-laki dan perempuan cenderung diletakkan pada dua kutub yang berseberangan, bahkan bermusuhan. Kaum Adam diposisikan sebagai pihak yang menguasai, sementara kaum Hawa ditempatkan sebagai pihak yang dikuasai.
Melalui latar belakang cerpen ini, kita akhirnya mengetahui bahwa ketimpangan dan ketidaksetaraan gender (unequality gender) terhadap perempuan juga terjadi dalam masyarakat suku Bugis, dimana seorang laki-laki (ayah atau kakek) akan lebih berkuasa dalam suatu keluarga terlebih dalam urusan jodoh.
“Kakek memang berkuasa…………………………”
“Waktu menjalin hubungan kami di rumah besar ini, tapi kakeklah yang selalu bertindak sebagai penentu nasib dan sejarah kami semua. Satu persatu kakakku dinikahkan dengan laki-laki pilihan kakek……..”

Dalam konteks masyarakat suku Bugis Makassar, ketimpangan kedudukan dan peran perempuan dan laki-laki juga banyak terjadi. Pada satu sisi peran dan kedudukan perempuan sangat dihormati setara dengan laki-laki, tetapi pada sisi lain perempuan ditempatkan menjadi subordinat laki-laki.
Masyarakat suku Bugis Makassar menganut sistem kekeluargaan bilateral, menyatukan keluarga ibu dan ayah secara sama. Namun, dalam implementasi sosialnya lebih dominan pada patriarkat. Hal ini terlihat misalnya pada pemberian nama anak yang baru lahir, yaitu nama ayah harus tercantum. Tanggung jawab anak laki-laki sangat dominan, terutama yang sulung. Dia merupakan benteng pertama dalam menjaga “Siri” (rasa malu) di masyarakat. Dia mempunyai hak kontrol langsung dalam kehidupan keluarga, penentu setelah ayah dalam perkawinan saudaranya (menerima atau menolak lamaran), nasihatnya diikuti semua pihak dan menjadi pengawas saudara perempuannya untuk menjaga martabat keluarga.
Bagi istri, segala aktivitasnya harus mendapat izin dari suami. Istri tidak boleh membantah suami, tidak boleh keluar rumah tanpa izin suami. Pada tataran inilah tindakan kekerasan terhadap perempuan pada suku Bugis Makassar banyak terjadi sebagai akibat dari sistem kekeluargaan yang patriarkat. Baik dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi. Sayangnya, tindakan kekerasan tersebut masih banyak disembunyikan dalam lingkup keluarga karena masih dianggap sebagai aib keluarga. Derita yang dialami perempuan, baik pada saat maupun setelah terjadi kekerasan, kenyataannya jauh lebih traumatis daripada yang dialami laki-laki. Trauma yang lebih besar terjadi bila kekerasan dilakukan orang-orang yang mempunyai hubungan khusus dengan dirinya, misalnya keluarga sendiri (kakek, ayah, paman, suami) yang setiap hari hidup bersama. (Ahkam Jayadi, Kompas, 23 November 2003).
Dari cerpen “Makkunrai” ini sang cerpenis sangat jelas mencoba mendiskripsikan fenomena bias gender dan dominasi pihak laki-laki dalam keluarga masyarakat suku Bugis.
“Waktu menjalin kehidupan kami semua di rumah besar ini, penulis skenarionya tetaplah kakek dengan kekuasaannya yang makin menyala-nyala.”
Dominasi pihak laki-laki terhadap perempuan dalam masyarakat suku Bugis menjadi sangat domian terutama dalam hal pemilihan jodoh, dimana sang anak harus menerima pilihan keluarga. Hal tersebut termaktub sebagai berikut:
“Waktu menjalin kehidupan kami di rumah besar ini, tapi kakeklah yang selalu bertindak sebagai penentu nasib dan sejarah kami semua. Satu persatu kakakku dinikahkan dengan laki-lak pilihan kakek”
Adat Bugis memang masih mengenal perjodohan, terutama kepada sesama suku hingga saat ini, hanya beberapa orang dari luar suku Bugis yang bisa sukses menyunting pasangan dari suku ini. Saking kuatnya mereka memegang adat ini maka biasanya apabila ada anak yang beranjak dewasa, orang tua sudah mulai sibuk mencari calon pendamping hidup anaknya itu. Kalau cowok, biasanya masih sedikit longgar dalam arti apabila dia punya calon istri dari luar suku tapi berkenan di hati maka biasanya lebih mudah untuk direstui. Tidak demikian halnya dengan anak perempuan, biasanya lebih sulit.
“Satu persatu kakakku dinikahkan dengan laki-laki pilihan kakek”
“……Kata ibu, dia cucu mantan gubernur, yang akan dijodohkan denganku.”
Dalam hal pemilihan jodoh, yang pilihan utama biasanya adalah harta, pangkat dan keturunan.
“Berapa uang naikknya?
Ada hadiah sawah dan kerbau, juga?
Apa? Dihadiahi apartemen di Jakarta ?

Masogi ledde’tu manettue…?”
Akhirnya, rela atau tidak, maka ujung dari suatu keterbelengguan, tekanan dan juga marjinalisasi gender dalam kehidupan keluarga atau masyarakat akan berbuah perlawanan.
“Aku menuruti anjuran Bapak untuk pergi. Sebuah perlawanan tidak akan menemukan wujudnya bila hanya dikhayalkan. Ia harus dikerjakan.
Setelah membaca cerpen ini, pembaca akan mendapatkan gambaran akan adat dan tradisi suku Bugis yang dengan sistem patriarkatnya masih mengenal marginalisasi gender. Oleh karena itu, untuk mengubah kultur dan struktur kekeluargaan dalam masyarakat Indonesia yang banyak melahirkan perilaku bias gender ke arah budaya yang lebih adil dan demokratis, tentu saja tidak segampang membalikkan telapak tangan. Gender yang dikonstruksi secara sosial selalu dibakukan melalui berbagai instansi, termasuk di dalamnya institusi keluarga, dimana sosialisasi dan internalisasi nilai terjadi.
Konsep subyektif tersebut berkembang dalam berbagai alur kehidupan masyarakat yang mengakibatkan ketimpangan kedudukan dengan laki-laki. Ketimpangan gender bukan hanya masalah individual atau domestik yang dapat diselasaikan secara individual dan tertutup, tetapi merupakan masalah sosial yang menuntut pemecahan terbuka, komprehensif, holistik dan berkesinambungan. Dengan demikian, ketimpangan gender dapat disejajarkan dengan persoalan ketidakadilan sosial lebih luas lagi, yang dapat bersumber pada perbedaan etnis, ras, agama, atau kawasan.

Terima Kasih