Oleh : Haeran, SS
Setelah membaca cerpen “Makkunrai” terbitan Media Indonesia edisi Minggu, 11 Maret 2007, maka sangat menarik untuk menelusuri dan meneliti lebih lanjut terhadap isi kandungannya. Sesuai dengan judulnya, “Makkunrai”, yang dalam bahasa Bugis berarti perempuan, cerpen karya Lily Yulianti Farid ini mengangkat cerita tentang sisi-sisi perempuan, khususnya adat dan tradisi dalam masyarakat suku Bugis. Hal tersebut tampak akan adanya komparasi antara kepasrahan dan perlawanan yang lahir dari seorang perempuan yang terkungkung meski hidup nyaman karena secara pribadi memiliki segalanya, kecuali kebebasan. Kepasrahan karena kungkungan keluarga, sebaliknya perlawanan karena mencoba bangkit dari belenggu adat dan tradisi.
Kita sekarang memang tidak hidup di zaman jahiliyah, dimana kehadiran seorang anak perempuan terkadang tidak dikehendaki dan bahkan dibunuh, tetapi kita hidup di zaman dimana masyarakatnya sudah mampu memposisikan bahwa laki-perempuan sama saja। Namun, di awal cerita sang cerpenis mencoba mengingatkan kita kembali bahwa meskipun zaman sudah maju (modern), tidak selamanya anggapan tersebut benar adanya। Masih banyak orang berpikiran kolot dan tidak menghendaki lahirnya anggota baru dari keluarga mereka berjenis kelamin perempuan.
“Makkunrai। Kakekmu menyebut kata itu berulang-ulang. Anakku yang keenam telah lahir. Makkunrai……kakek tidak senang dengan kehadiranku.”
“Aku yakin ada adegan dimana kakek melihat cucu keenamnya perempuan lagi.”
“Ia mungkin akan mengingat-ingat detik-detik kelahiranku, saat ia kecewa tidak bisa mendapatkan cucu laki-laki।”
Membaca cerpen ini, kita seolah dingatkan pada perjuangan Kartini yang ketika hadir di dunia terbelenggu dengan aturan dan hukum, telah menempatkannya sebagai makhluk kedua। Kartini menolak aturan yang dibangun oleh tradisi dan budaya dengan memberontak। Ia mencoba menolak wacana bahwa perempuan boleh dimadu, harus patuh kepada aturan dan adat, kepada suami dan kepada bapak, tidak punya hak memeberikan suara apalagi berpendapat, tidak boleh mengatur ataupun memilih। Ia dengan kritis menyikapi semua aturan tersebut। (Dr. Free Hearty M, Hum / Padang Ekspres, 21 April 2007).
Belakang ini semakin banyak pihak mengusung ide tentang kesetaraan gender (gender equality), ketika itu pula tidak sedikit diantara mereka yang kemudian terjebak pada nuansa berpikir dikotomis. Yang terjadi kemudian, posisi laki-laki dan perempuan cenderung diletakkan pada dua kutub yang berseberangan, bahkan bermusuhan. Kaum Adam diposisikan sebagai pihak yang menguasai, sementara kaum Hawa ditempatkan sebagai pihak yang dikuasai.
Melalui latar belakang cerpen ini, kita akhirnya mengetahui bahwa ketimpangan dan ketidaksetaraan gender (unequality gender) terhadap perempuan juga terjadi dalam masyarakat suku Bugis, dimana seorang laki-laki (ayah atau kakek) akan lebih berkuasa dalam suatu keluarga terlebih dalam urusan jodoh.
“Kakek memang berkuasa…………………………”
“Waktu menjalin hubungan kami di rumah besar ini, tapi kakeklah yang selalu bertindak sebagai penentu nasib dan sejarah kami semua. Satu persatu kakakku dinikahkan dengan laki-laki pilihan kakek……..”
Dalam konteks masyarakat suku Bugis Makassar, ketimpangan kedudukan dan peran perempuan dan laki-laki juga banyak terjadi. Pada satu sisi peran dan kedudukan perempuan sangat dihormati setara dengan laki-laki, tetapi pada sisi lain perempuan ditempatkan menjadi subordinat laki-laki.
Masyarakat suku Bugis Makassar menganut sistem kekeluargaan bilateral, menyatukan keluarga ibu dan ayah secara sama. Namun, dalam implementasi sosialnya lebih dominan pada patriarkat. Hal ini terlihat misalnya pada pemberian nama anak yang baru lahir, yaitu nama ayah harus tercantum. Tanggung jawab anak laki-laki sangat dominan, terutama yang sulung. Dia merupakan benteng pertama dalam menjaga “Siri” (rasa malu) di masyarakat. Dia mempunyai hak kontrol langsung dalam kehidupan keluarga, penentu setelah ayah dalam perkawinan saudaranya (menerima atau menolak lamaran), nasihatnya diikuti semua pihak dan menjadi pengawas saudara perempuannya untuk menjaga martabat keluarga.
Bagi istri, segala aktivitasnya harus mendapat izin dari suami. Istri tidak boleh membantah suami, tidak boleh keluar rumah tanpa izin suami. Pada tataran inilah tindakan kekerasan terhadap perempuan pada suku Bugis Makassar banyak terjadi sebagai akibat dari sistem kekeluargaan yang patriarkat. Baik dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi. Sayangnya, tindakan kekerasan tersebut masih banyak disembunyikan dalam lingkup keluarga karena masih dianggap sebagai aib keluarga. Derita yang dialami perempuan, baik pada saat maupun setelah terjadi kekerasan, kenyataannya jauh lebih traumatis daripada yang dialami laki-laki. Trauma yang lebih besar terjadi bila kekerasan dilakukan orang-orang yang mempunyai hubungan khusus dengan dirinya, misalnya keluarga sendiri (kakek, ayah, paman, suami) yang setiap hari hidup bersama. (Ahkam Jayadi, Kompas, 23 November 2003).
Dari cerpen “Makkunrai” ini sang cerpenis sangat jelas mencoba mendiskripsikan fenomena bias gender dan dominasi pihak laki-laki dalam keluarga masyarakat suku Bugis.
“Waktu menjalin kehidupan kami semua di rumah besar ini, penulis skenarionya tetaplah kakek dengan kekuasaannya yang makin menyala-nyala.”
Dominasi pihak laki-laki terhadap perempuan dalam masyarakat suku Bugis menjadi sangat domian terutama dalam hal pemilihan jodoh, dimana sang anak harus menerima pilihan keluarga. Hal tersebut termaktub sebagai berikut:
“Waktu menjalin kehidupan kami di rumah besar ini, tapi kakeklah yang selalu bertindak sebagai penentu nasib dan sejarah kami semua. Satu persatu kakakku dinikahkan dengan laki-lak pilihan kakek”
Adat Bugis memang masih mengenal perjodohan, terutama kepada sesama suku hingga saat ini, hanya beberapa orang dari luar suku Bugis yang bisa sukses menyunting pasangan dari suku ini. Saking kuatnya mereka memegang adat ini maka biasanya apabila ada anak yang beranjak dewasa, orang tua sudah mulai sibuk mencari calon pendamping hidup anaknya itu. Kalau cowok, biasanya masih sedikit longgar dalam arti apabila dia punya calon istri dari luar suku tapi berkenan di hati maka biasanya lebih mudah untuk direstui. Tidak demikian halnya dengan anak perempuan, biasanya lebih sulit.
“Satu persatu kakakku dinikahkan dengan laki-laki pilihan kakek”
“……Kata ibu, dia cucu mantan gubernur, yang akan dijodohkan denganku.”
Dalam hal pemilihan jodoh, yang pilihan utama biasanya adalah harta, pangkat dan keturunan.
“Berapa uang naikknya?
Ada hadiah sawah dan kerbau, juga?
Apa? Dihadiahi apartemen di Jakarta ?
Masogi ledde’tu manettue…?”
Akhirnya, rela atau tidak, maka ujung dari suatu keterbelengguan, tekanan dan juga marjinalisasi gender dalam kehidupan keluarga atau masyarakat akan berbuah perlawanan.
“Aku menuruti anjuran Bapak untuk pergi. Sebuah perlawanan tidak akan menemukan wujudnya bila hanya dikhayalkan. Ia harus dikerjakan.Setelah membaca cerpen ini, pembaca akan mendapatkan gambaran akan adat dan tradisi suku Bugis yang dengan sistem patriarkatnya masih mengenal marginalisasi gender. Oleh karena itu, untuk mengubah kultur dan struktur kekeluargaan dalam masyarakat Indonesia yang banyak melahirkan perilaku bias gender ke arah budaya yang lebih adil dan demokratis, tentu saja tidak segampang membalikkan telapak tangan. Gender yang dikonstruksi secara sosial selalu dibakukan melalui berbagai instansi, termasuk di dalamnya institusi keluarga, dimana sosialisasi dan internalisasi nilai terjadi.
Konsep subyektif tersebut berkembang dalam berbagai alur kehidupan masyarakat yang mengakibatkan ketimpangan kedudukan dengan laki-laki. Ketimpangan gender bukan hanya masalah individual atau domestik yang dapat diselasaikan secara individual dan tertutup, tetapi merupakan masalah sosial yang menuntut pemecahan terbuka, komprehensif, holistik dan berkesinambungan. Dengan demikian, ketimpangan gender dapat disejajarkan dengan persoalan ketidakadilan sosial lebih luas lagi, yang dapat bersumber pada perbedaan etnis, ras, agama, atau kawasan.