Sebuah stasiun TV swasta terkemuka dua hari lalu menayangkan sebuah Talkshow dengan narasumber lima orang yang seluruhnya “anti” Anti Tembakau.
Inti dari talkshow tersebut adalah disinyalir ada upaya-upaya secara sistematis dari pihak luar untuk mematikan industri rokok dalam negeri melalui berbagai strategi termasuk ke tataran Regulasi sehingga terbitnya UU 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengatur secara lebih ketat tentang rokok. Bahkan seorang budayawan dalam diskusi tersebut menyatakan secara politik keadaan sekarang hampir sama dengan zaman VOC belanda dulu, dimana ada upaya penguasaan oleh pihak tertentu untuk menguasai/monopili perdagangan .Tentunya berkait dagang tembakau yang sangat profitable. Terlebih lagi karena saat ini pemerintah dan para pegiat anti rokok sedang berusaha meng”gol”kan RPP yang menagatur secara lebih ketat peredaran rokok di Indonesia.
Sebaliknya sinyalemen dari pihak yang mendukung Anti Tembakau tak kalah hebatnya. .Hilangnya satu ayat tentang tembakau pada UU 36 tahun 2009 tentang kesehatan justru diduga merupakan salah satu upaya pihak – pihak tertentu untuk menghalangi pengendalian rokok yang dianggap dapat mengancam eksistensi industri rokok.
Pro-kontra lainnya, ada juga pendapat yang mengatakan koq rokok dilarang, sementara makanan fast food dan sejenisnya yang jelas-jelas sumber lemak ( Cholesterol ) justru dibiarkan saja. Dalam sebuah diskusi di sebauh millist kesehatan terjadi diskusi penulis dan anggota millist tentang perbedaan yang mendasar sebenarnya antara komsumsi lemak (cholesterol) dan merokok. Dalam teori ekonomi dan Public Helath dikenal ada istilah eksternalitas. Makan cholesterol tidak menimbulkan eksternalitas negatif pada orang lain; sementara merokok menyebabkan eksternalitas negatif pada orang lain (polusi udara, passive smokers).
Oleh karena itu, makan cholsterol bersifat urusan pribadi (private goods), sementara merokok, karena ada eksternalitas negatif, menjadi urusan publik (public goods).
Oleh karena itu, merokok hanya dibolehkan di ruang tertutup khusus perokok (supaya eksternalitas negatifnya hanya terjadi lintas perokok.
Bagaimanapun pro-kontra yang terjadi, merokok secara jelas dan berdasarkan data empiris membahayakan bagi kesehatan. Menurut data yang dirilis Kemenkes RI di Situs resminya rokok telah membunuh lima juta orang setiap tahun berdasarkan data epidemic tembakau dunia. Rokok juga membunuh separuh dari masa hidup perokok dan separuh perokok mati pada usia 35 – 69 tahun. Jika hal ini berlanjut terus, pada tahun 2020 diperkirakan terjadi sepuluh juta kematian dengan 70 persen terjadi di negara sedang berkembang.
Menurut Menkes, tingginya populasi dan konsumsi rokok menempatkan Indonesia menduduki urutan ke-5 konsumsi tembakau tertinggi di dunia setelah China, Amerika Serikat, Rusia dan Jepang dengan perkiraan konsumsi 220 miliar batang pada tahun 2005.
Di masa mendatang masalah kesehatan akibat rokok di Indonesia semakin berat karena 2 diantara 3 orang laki-laki adalah perokok aktif. Lebih bahaya lagi karena 85,4% perokok aktif merokok dalam rumah bersama anggota keluarga sehingga mengancam keselamatan kesehatan lingkungan. Selain itu, 50 persen orang Indonesia kurang aktivitas fisik dan 4,6 persen mengkonsumsi alcohol.
Padahal dengan mengurangi konsumsi rokok di kalangan keluarga miskin, maka subsidi pemerintah untuk pelayanan kesehatan yang menderita penyakit-penyakit akibat rokok dapat dikurangi.
Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, secara jelas menyatakan pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif ( yang meliputi tembakau & produk yang mengandung tembakau ) harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan. Selain itu, setiap orang yang memproduksi dan atau memasukkan rokok ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan. Dalam UU itu juga mengatur tentang Kawasan Tanpa Rokok guna melindungi masyarakat dari bahaya asap rokok
Inilah pentingnya fungsi pemerintah untuk melindungi rakyat dari kondisi bahaya / buruknya keadaan kesehatan mereka. Tentu peran para pengambil kebijakan ( Policy maker ) di tingkat pusat maupun di daerah sangat dituntut sebagai bentuk tanggung jawab politik mereka terhadap konstituen yang memilih mereka dalam Pilkada, Pilleg , atau Pilpres. Tanggung jawab mensejahterakan masyarakat termasuk untuk bidang yang sangat vital dan strategis yaitu kesehatan .
Siapa yang Untung ?
Kesehatan memang tidak lepas dari pengaruh Politik dan ekonomi. Sebuah seminar di Fakultas kesehatan Masyarakat UI baru – baru ini yang menyoal sebenarnya siapa yang diuntungkan dari persoalan rokok ini? melindungi kesehatan masyarakat atau nasib ribuan petani tembakau. Ataukah menambah tebal pundi –pundi pengusaha rokok yang rata-rata menjadi orang terkaya teratas di Indonesia ?
Menurut seorang dokter spesialis paru-paru, Satria Pratama, yang juga direktur Indonesia Health Development ( Inhealth ) Berdasarkan data Unicef 2006, dengan kematian balita 162 ribu per tahun, konsumsi rokok keluarga miskin menyumbang 32 ribu kematian per tahun atau 90 balita per hari.
Belum lagi imbasnya pada kerentanan terjangkit penyakit. Perokok berpotensi 5 kali lipat terjangkit TBC ketimbang yang bukan perokok.
Kartono Muhammad ( Mantan Ketua Umum PB IDI ) menyatakan pada diskusi tersebut berdasarkan penelitian UI, sejumlah anak-anak yang merokok diketahui berasal dari iklan.
Selain itu, ada juga perokok yang dipengaruhi oleh teman-temannya.Mereka merasa lebih jago atau macho kalau merokok. Tidak hanya itu, perokok anak-anak juga bisa ditimbulkan oleh penjualan rokok ketengan. Bahkan, sebagian anak ada yang memperoleh rokok dari acara-acara musik yang disponsori perusahaan rokok dengan pembagian sampel gratis.
Sementara itu, isu terancamnya kesejahteraan petani dan buruh rokok jika RPP Pengendalian Tembakau disahkan, diduga hanya untuk membiaskan isu kesehatan. Upaya pengendalian dampak tembakau terhadap kesehatan tidak mempunyai keterkaitan dengan kondisi petani tembakau dan buruh industri rokok.
Alasannya ada alternatif yang dapat ditempuh untuk kesejahteraan petani adalah impor daun tembakau dibatasi dan rantai perdagangan dipangkas. Berdasarkan data TCSC ( Tobacco Control Support Center ), jumlah pekerja industri rokok tahun 2000-2006 berkisar 270 ribu atau 0,3 persen dari jumlah tenaga kerja. Rata-rata upah bulanan buruh rokok hanya 62 persen dari upah pekerja semua industri. Rata-rata upah bulanan tahun 2006 pekerja industri rokok hanya Rp 670 ribu.
Lalu apa artinya ini ? fakta ini membuat kita dapat mengira –ngira sebenarnya siapa yang lebih diuntungkan dalam industri rokok ? kesehatan masyarakat atau petani tembakau,ataukah pengusaha rokok yang rata-rata menjadi orang terkaya teratas di Indonesia ? Lebih baik kita pastikan saja bahwa sebenarnya pengusaha tembakau lah yang paling mengeruk keuntungan.