Senin, 21 Desember 2009

Siapa Pahlawan Anti Korupsi?

Oleh : H. Adrianus Chatib


WALAUPUN 9 Desember baru akan lahir, namun membicarakan makna dan hikmah peringatan Hari Antikorupsi tidak pernah mengandung arti usang dan terlambat sudah, bila dilakukan dengan terarah jelas, khidmat dan penuh renungan Perenungan yang mendalam akan menggugah hati nurani untuk meneropong masa silam yang “gelap”dan kemudian menggugatnya agar manusia dapat menerima sekaligus menegakkan kebenaran, sekalipun hal itu pahit. Karena nilai yang terkandung di dalam peringatan itu, bukan hanya berada pada ‘diri 9 Desember’ berdasarkan teks saja. Tapi, membicarakan hal lain seperti penegakan hukum yang dikaitkan dengan kepahlwanan seseorang dalam membasmi dan mencukur habis korupsi, patut mendapat tempat tersendiri. Apalagi, pada bulan ini carut-marut hukum dan penegakannya, terutama yang bersangkut-paut dengan kotuptor sebagai penjarah uang negara dan korupsi sebagai hasil jarahannya. menyita perhatian semua pihak dan lapisan .Karenanya, semarak pembangunan pisik yang kita bangga-banggakan selama ini tidak akan berarti apa-apa, bila kita mengenyampingkan man behind the law (al-nas al-ladzi yaqumu bi al-hukm ).

Paling tidak sejak merdeka tahun 1945, Indonesia telah mengumandangkan ke rakyatnya sendiri dan dunia luar bahwa ia adalah negara hukum. Berarti, lebih kurang 64 tahun, hukum di negeri ini – seharusnya – telah menjadi bahagian hidup bangsa Indonesia. Hanya saja, apakah hukum sudah betul-betul tegak di negeri ini? Kalau belum tegak, kenapa? Siapa pahlawan penegak hukum antikorupsi kita ? Adalah menarik untuk dijadikan satu kajian dalam rangka peringatan Hari Antikorupsi di tahun ini.

Hukum dan Penegakannya

Di era reformasi ini – bila betul eranya reformasi – yang ditunggu-tunggu masyarakat adalah penegakan hukum; bukan “bahasa hukum”yang terlalu elastis; bahkan ada pasal dan klausal yang terkesan kurang tegas alias bertele-tele sehingga membuat ruang yang menganga untuk multi tafsir.Jangankan masyarakat awam, para akademisi hukum saja berdebat tentang makna pasal-pasal di dalam perundang-undangan kita. Hal itu disebabkan antara lain adanya pasal “karet” tempat bermain empuk bagi politisi hukum, terutama bagi black lawyers yang suka nongkrong di arena abu-abu.

Hukum, bagaimanapun indah bahasa yang digunakan – bila tidak diimplementasikan secara baik di tengah-tengah masyarakat, maka ia belum akan berarti apa-apa dan jauh dari makna sejarah yang melatarbelakangi dan filosofi hukumnya sendiri ketika dilahirkan. Dalam rangka penegakan, hukum dalam kaitannya dengan pemerintahan menurut Abu Hasan al-Mawardi dalam kitab: al-Ahkam al-Sulthaniyyah , begitu juga dalam pandangan Ibn Taimiyyah, Ibn Khaldun dan Muhammad Abduh sebagaimana dikutip oleh Dr.Ahmad Syalabiy dengan bukunya: al-Siyasah fi al-Fikr al-Islami.Mausu’ah al-Nidzam wa al-Hadharah al-Islamiyyah,diperlukan oleh masyarakat agar mereka dapat hidup dalam kedamaian dan berkeadilan. Apa yang tersebut terakhir inilah pula yang sulit dapat diwujudkan manusia. Karena: 1) manusia sebagai makhluk sosial penuh kepentingan-kepentingan antara yang satu dengan yang lainnya,dan kadangkala bahkan sering terjadi seorang mengorbankan saudaranya untuk kepentingan dirinya; 2) ketauladan pemimpin kepada rakyat (top- down) relatif rendah; 3) kemauan/tuntutan hati kecil penguasa untuk menegakkan hukum antara ya dan tidak (bain-bain; to do things halfway); 4) rakyat menerima saja perlakuan semena-mena dari atas ; tidak ada koreksi dari bawah (button up). Ketika inilah hukum sering tidak menjadi komando/panglima dalam mengatur tata kehidupan manusia yang sarat dengan kepentingan , baik individual/personal maupun kolektif/jama’i. Jadi, hukum dan keteraturan hidup dalam masyarakat merupakan kausalitas.

Selanjutnya, hukum itu akan terasa manfa’atnya bagi masyarakat, kalau ia ditegakkan.Dengan pegertian, semua manusia pada strata apapun, sama kedudukannya di mata hukum. Tidak ada spesialisasi dan spesifikasi penegakan hukum bagi penguasa dan they have yang berbeda dengan pemberlakuan hukum bagi rakyat jelata dan orang yang papa.Kalau sudah demikian pemerataan pelaksanaan hukum yang diperoleh masyarakat, barulah hukum dapat dikatakan tegak di tengah-tengah masyarakat.

Akan tetapi pada kenyataannya, penegakan hukum di negeri kita belumlah seutuhnya menjadi kenyataan dengan baik dan sempurna; masih terseot-seot.dan tertatih-tatih karena dihinggapi oleh mafia hukum.Hal itu terbukti dengan masih terdengarnya rintihan rakyat dimana-mana, bila mereka berurusan dengan penegak- penegak hukum. Dewasa ini banyak bermunculan mafia hukum dan makelar kasus (markus) di peradilan. Selama 64 tahun kita merdeka, selama itu pula bangsa kita “berkenalan” dengan hukum yang dipunyainya sendiri. Dalam hal itu, bangsa kita baru pada tataran “mengenal hukum”; belum sampai pada titik puncak yakni “mencintai hukum”. Bagaimana rasa cinta akan tumbuh, kalau yang dicintai tidak mendidik dan memperhatikan yang mencintai, terutama ketika yang dicintai ditolak cintanya. Jadilah yang dicintai bertepuk sebelah tangan. Agaknya, tidaklah berlebih-lebihan penggambaran seperti ini; yang jelas begitulah kondisi real antara penegak hukum dengan rakyat di negara kita. Agar cinta rakyat tidak selalu menggantung, maka aparat penegak hukum perlu memberikan serta membuktikan kata cintanya berupa penegakan hukum yang bukan sekedar lip service lagi.

Pahlawan Penegak Hukum, Siapakah Dia?

Hukum tidak bisa tegak dengan sendirinya. Karena hukum itu mengikat masyarakat , maka masyarakat baru dapat terikat bila ada penegaknya yang serius (man behind the law). Dengan munculnya kasus Bibit-Chandra versus Anggoro-Anggodo yang melibatkan aparat penegak hukum dipertontonkan secara “telanjang”oleh Mahkamah Konstitusi pada bulan Nopember yang lalu, membuat masyarakat tersentak di segala lini yang menggambarkan kepada publik bahwa sudah sebegitu cacatnya wajah penegak hukum kita baik secara individu maupun sebagai institusi, sekalipun yang berbuat itu adalah oknum yang sudah lupa-lupa ingat dengan sumpah jabatannya.

Kasus yang terjadi ini, bukanlah merupakan persiteruan antara lembaga-lembaga penegak hukum semata. Akan tetapi kelihatannya sudah melampaui sekedar itu. Harga diri sudah mulai dipetaruhkan, sekalipun menegakkan benang basah. Agaknya di balik itu semua, ada hikmah yang lebih besar yang bisa ditangkap oleh orang-orang arif. Kejadian ini bagaikan gunung es yang sedang mencair yang menginformasikan kepada pengelola negara dan bangsa ini bahwa hukum

dan penegakannya sedang berada pada titik nadir.Justeru itu, sudah waktunya – jangan abai dan lalai lagi – untuk membenahi problematika hukum kita secara serius, kalau masa depan bangsa ini mau diselamatkan.

Sebenarnya, kalau kita dapat memberi ruang kepada otak dan hati kita untuk berpikir shorih bahwa sudah beberapa kali petinggi negara ini diingatkan oleh orang yang masih bening kalbunya sejak dari orde lama ( berkuasa: lebih kurang selama 20 tahun), kemudian orde baru ( mengendalikan bangsa ini selama 32 tahun) dan orde reformasi (sudah memimpin selama lebih 10 tahun) dengan kritik yang sifatnya membangun ketika memberi isyarat bahwa hukum kita sudah lari dari relnya.Tapi sayang, peringatan yang diberikan anak bangsa yang menaruh perhatian terhadap \masa depan, diabaikan. Masih segar diingatan kita, koreksi yang dilakukan Petisi 50 terhadap penyimpangan penyelenggaraan negara.Koreksian itu, di samping tidak didengar oleh Pemerintah, malah berakhir dengan tragis; pengoreksinya dibuikan. Maka jadilah kesalahan-kesalahan itu dianggap benar.Berakumulasilah penyelewengan yang dibenarkan itu selama berpuluh-puluh tahun, termasuk masalah hukum. Jadi, apa yang kita rasakan sekarang bukanlah produk penyelewengan sekarang saja, tapi ia adalah bongkahan-bongkahan penegakan hukum yang tidak clear dan belum clean serta belum pernah tuntas.selama beberapa dasawarsa. Itulah sebab utama-- sekarang-- penyelesaiannya menjadi sangat rumit. Ibarat batu, sudah menggunung; laksana air, sudah banjir bandang.

Justeru itu, penegakan hukum hari ini akan dapat dilakukan oleh orang yang punya komitmen tinggi yang takut dengan Tuhan secara vertikal, Zat yang selalu mengintip apa saja perbuatan hambanya dan oleh orang yang segan dengan rakyat pembawa suara Tuhan secara horizontal. Siapakah dia, kalau bukan penegak hukum yang masih mempercayai adanya “hari pembalasan”.kalau tidak di dunia, di akherat sudah pasti. Palu yang pernah mereka ketuk ketika memutus perkara, mulai dari penyelidikan-penyidikan, metoda penuntutan yang dipakai serta vonis yang diputuskan, pasti akan ditayang-ulang di Mahkamah Rabb al-Jalil nanti untuk dipertanggungjawabkan, adakah keputusan yang telah dipalukan itu berdasarkan hati nurani dan bukti kuat; bukan hasil rekayasa. Kalbu-kalbu jernih yang belum kena polusi seperti inilah yang dapat tersentuh oleh perlunya penegakan hukum secara murni dan konsekwen di negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ini. In sya’A llah.yuridu bi iqamat al-hukm fi biladina hadzihi.

Senin, 14 Desember 2009

Memperalat Penegakan Hukum

Oleh: Adnan Topan Husodo (Jambi Ekpres)

POLITIK dan hukum memang selalu tidak dapat dipisahkan. Keduanya berada pada aras yang saling memengaruhi. Bedanya, lingkungan politik yang sehat akan mendukung hukum untuk bekerja dengan prinsip objektivitas dan imparsialitas. Sementara lingkungan politik yang kotor sangat mungkin menempatkan hukum sebagai alat kepentingan elite belaka.

Masalahnya, dalam situasi yang di dalamnya korupsi sudah sedemikian akut, merajalela, dan sistemik, menyelesaikan korupsi dengan penegakan hukum kerap terbentur berbagai macam resistensi yang tidak bisa dianggap sederhana. Korupsi yang sudah membentuk kartel, kolusi yang mengakar antara kekuasaan politik, kalangan bisnis dan aparatur penegak hukum bukanlah soal yang bisa dirumuskan penyelesaiannya dengan mudah. Dan, KPK hadir dalam situasi yang kurang lebih demikian.

Karena itu, tak heran jika agenda pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK terasa menjadi ganjalan besar bagi kemapanan para elite korup. Apalagi, jangkauan KPK mulai masuk ke ranah kekuasaan yang selama ini sudah dicap kebal hukum semisal DPR, besan presiden, pejabat Bank Sentral, raja kecil di daerah (kepala daerah), dan sebagainya.

Demikian pula, KPK sebagai lembaga penegak hukum mesti berhadapan langsung dengan aparat penegak hukum lain untuk membereskan masalah korupsi. Tertangkapnya seorang jaksa dan diprosesnya mantan Kapolri karena terlibat korupsi menjadi catatan tersendiri bahwa aparat penegak hukum di Indonesia memang perlu dibersihkan.

Perselingkuhan Kepentingan

Kesan bahwa KPK bekerja sendirian dalam memberantas korupsi memang tak berlebihan. Ironisnya, proteksi politik yang sangat dibutuhkan KPK untuk memberantas korupsi dengan lebih efektif harus berhadapan dengan kepentingan politik yang kerap terganggu oleh gebrakan KPK. Untuk saat ini, harus diakui bandul kekuasaan politik lebih mengarah pada upaya melemahkan KPK dibandingkan kemauan memperkuat posisi KPK.

Alih-alih menambah amunisi wewenang bagi KPK dalam rangka meningkatkan kinerjanya, kekuasaan pada wilayah parlemen dan eksekutif justru membangun perselingkuhan untuk mengebiri KPK. Benar sebagaimana dikatakan Pasuk Phongpaichit, seorang peneliti korupsi dari Thailand, dalam kondisi di mana kekuasaan politik menjadi sumber atau pusat korupsi, mustahil berharap dukungan politik dalam memberantas korupsi.

Menurut dia, satu-satunya jalan adalah dengan tuntutan yang kuat dari kalangan masyarakat sipil. Pendek kata, pemberantasan korupsi pada negara yang sistem politiknya korup hanya dapat dilakukan secara bottom-up, tidak top-down. Koalisi CICAK yang didorong oleh berbagai elemen masyarakat sipil memang sedikit banyak terbukti dapat mengerem upaya kekuasaan politik untuk mengamputasi otoritas KPK. Tampaknya, hanya dengan kontrol yang ketat dari publik luas, elite politik tidak dapat dengan mudah mengutak-atik eksistensi KPK.

Celakanya, instrumen untuk melumpuhkan KPK bukan hanya melalui regulasi. Celahnya terbuka lebar melalui penegakan hukum. UU KPK memang didesain dengan standar tinggi. Dengan demikian, ketika unsur pimpinan KPK menjadi tersangka suatu tindakan pidana, yang bersangkutan harus dinonaktifkan oleh presiden.

Oleh karena itu, sangkaan terhadap unsur pimpinan KPK harus benar-benar dilandasi fakta yuridis yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Soalnya, begitu mudah melumpuhkan KPK jika penegakan hukum atas pimpinan KPK telah dirasuki kepentingan berbagai pihak.

Jika disebut-sebut penetapan tersangka oleh Mabes Polri atas dua pimpinan KPK merupakan buah pertemuan kepolisian dengan Komisi III DPR, bukankah ini juga mengindikasikan perselingkuhan kekuasaan politik dan elite penegak hukum? Pasalnya, pada saat yang bersamaan, Kabareskrim Mabes Polri Susno Duadji telah terlebih dulu masuk dalam radar pantauan KPK terkait kasus Bank Century.

Pertaruhan Besar

Pertaruhan besar kini berada pada kepolisian. Kredibilitasnya sebagai penegak hukum sangat mungkin hancur jika upaya hukum terhadap pimpinan KPK ternyata ditunggangi berbagai kepentingan untuk melemahkan KPK. Posisi Kapolri menjadi sangat rawan andaikata polisi tidak dapat membuktikan tuduhan suap yang dialamatkan kepada Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, dua pimpinan KPK yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

Kecenderungan yang kini bisa dilihat, polisi justru semakin menunjukkan kebimbangannya. Sangkaan kepada pimpinan KPK terus berubah, sementara ketika masuk pada isu suap, mereka sepertinya tak memiliki alat bukti yang cukup. Bahkan, untuk data mendasar yang berhubungan dengan alibi, polisi ternyata tidak memiliki informasi akurat.

Perkembangan penyidikan di kepolisian atas pimpinan KPK semestinya menjadi rujukan presiden untuk meninjau ulang Perppu Plt Pimpinan KPK. Jika tetap melanjutkan agenda perppu, Presiden SBY sebagai atasan langsung kepolisian dapat dianggap turut merestui penzaliman terhadap pimpinan KPK. Sebab, nyatanya proses itu tidak dilandasi bukti yuridis yang kuat. Atau dalam bahasa lain, SBY dapat dikategorikan terlibat dalam skenario untuk melemahkan KPK.

Sudah bukan waktunya lagi SBY berdalih bahwa posisinya sebagai presiden tidak dapat mencampuri atau mengintervensi proses hukum oleh kepolisian terhadap pimpinan KPK. Barangkali selama ini SBY keliru menerapkan manajemen informasi sehingga banyak keterangan sampah yang masuk dan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan.

Saat ini masa depan pemberantasan korupsi terancam dengan berbagai macam usaha sistematis untuk menghancurkan KPK. Sudah semestinya SBY memikul tanggung jawab besar untuk memulihkannya.

Sejarah Panjang Gempa di Padang

Oleh : Daryono
(Jambi ekpres)

BELUM hilang ingatan masyarakat terhadap gempa bumi Tasikmalaya, Jawa Barat, 2 September 2009, yang menelan banyak korban jiwa dan kerugin harta benda, kini kita dikejutkan kembali oleh gempa bumi dahsyat di Padang, Sumatera Barat. Gempa bumi berkekuatan 7,6 skala Richter yang berpusat di Samudera Hindia pada jarak 57 kilometer arah barat daya Kota Pariaman itu telah menimbulkan kerusakan sangat parah dan menewaskan ratusan orang di Kota Padang dan sekitarnya. Berdasar parameternya, gempa bumi tersebut diklasifikasikan sebagai gempa bumi aktivitas subduksi menengah yang terjadi pada litosfer dekat dengan bidang kontak antarlempeng Indoaustralia dan Eurasia.

Ditinjau dari sejarah kegempaan di zona gempa bumi Sumatera Barat, gempa bumi Padang yang terjadi saat ini sebenarnya hanyalah bagian dari sejarah panjang gempa bumi yang sudah berlangsung sejak masa lampau. Data sejarah gempa bumi kuat dan merusak di Padang merupakan cermin kondisi tektonik yang merupakan kawasan seismik aktif dan kompleks.

Sejarah Gempa Bumi

Berdasar catatan data sejarah kegempaan, daerah Sumatera Barat memang sudah beberapa kali mengalami gempa bumi merusak. Sejak 1822 hingga 2009, telah terjadi setidaknya 14 kali kejadian gempa bumi kuat dan merusak di Sumatera Barat dan di antaranya menyebabkan tsunami. Sejarah panjang gempa bumi merusak di Sumatera Barat, antara lain, adalah gempa bumi Padang (1822, 1835, 1981, 1991, 2005), gempa bumi Singkarak (1943), gempa bumi Pasaman (1977), dan gempa bumi Agam (2003). Sedangkan gempa bumi yang diikuti gelombang tsunami terjadi di Mentawai (1861) dan Sori-Sori (1904).

Catatan paling tua menunjukkan bahwa di Padang pada 1822 telah terjadi gempa bumi kuat yang diikuti suara gemuruh yang berpusat di antara Gunung Talang dan Gunung Merapi. Meski tidak ada laporan secara rinci, catatan tersebut menyebutkan, gempa bumi itu dilaporkan menimbulkan kerusakan parah dan korban jiwa cukup banyak.

Pada 28 Juni 1926, gempa bumi dahsyat 7,8 skala Richter juga dilaporkan pernah mengguncang Padang Panjang. Akibat gempa bumi ini, tercatat korban tewas lebih dari 354 orang. Kerusakan parah terjadi di sekitar Danau Singkarak Bukit Tinggi, Danau Maninjau, Padang Panjang, Kabupaten Solok, Sawah Lunto, dan Alahan Panjang. Gempa bumi susulan mengakibatkan kerusakan di sebagian wilayah Danau Singkarak. Tercatat di Kabupaten Agam 472 rumah roboh, 57 orang tewas, dan 16 orang luka berat. Di Padang Panjang, 2.383 rumah roboh serta 247 orang tewas. Dampak gempa bumi juga menimbulkan banyak tanah terbelah, longsoran di Padang Panjang, Kubu Krambil, dan Simabur.

Gempa bumi kuat dengan magnitudo 5,6 skala Richter juga pernah terjadi pada 16 Februari 2004. Getaran gempa bumi ini dirasakan di sebagian besar daerah Sumatera Barat hingga pada VI MMI (Modified Mercalli Intensity) yang menimbulkan korban tewas 6 orang dan meluluhlantakkan ratusan bangunan rumah di Kabupaten Tanah Datar.

Beberapa hari kemudian, tepatnya pada 22 Februari 2004, gempa bumi yang lebih besar kembali mengguncang Sumatera Barat dengan magnitudo 6 skala Richter. Gempa bumi ini mengakibatkan satu orang tewas dan beberapa orang luka parah serta ratusan rumah rusak berat di Kabupaten Pesisir Selatan.

Tektonik Sumatera Barat

Kondisi seismik yang aktif dan kompleks zona gempa bumi Sumatera Barat tersusun atas dua generator gempa bumi. Pertama, pembangkit gempa bumi berasal dari kawasan barat Sumatera yaitu zone subduksi lempeng yang berpotensi menimbulkan gempa kuat yang sangat mungkin diikuti tsunami.

Sebagian besar hiposenter gempa bumi yang dipicu aktivitas penyusupan lempeng berpusat di perairan sebelah barat Sumatera. Hal ini berkaitan dengan adanya pertemuan lempeng benua di dasar laut. Untuk kawasan Sumatera Barat, potensi gempa besar justru akibat aktivitas lempeng di zona subduksi yang dicirikan dengan magnitudo yang relatif lebih besar.

Generator gempa bumi kedua adalah zona patahan Sumatera atau yang populer dikenal sebagai Semangko Fault. Semangko Fault merupakan patahan sangat aktif di daratan yang membelah Pulau Sumatera menjadi dua, membentang sepanjang Pegunungan Bukit Barisan, dari Teluk Semangko di Selat Sunda sampai ke wilayah Aceh di utara.

Gempa bumi berkekuatan 7,0 skala Richter yang mengejutkan masyarakat Sungai Penuh pada Kamis (1/10) yang episentrumnya sekitar 160 kilometer dari Kota Padang merupakan gempa bumi akibat aktivitas patahan Semangko. Tampaknya, pelepasan energi gempa bumi utama Padang berkekuatan 7,6 skala Richter yang dibangkitkan oleh aktivitas subduksi lempeng berdampak telah memicu aktivitas sesar di daratan.

Berdasar data sejarah gempa bumi Sumatera, dalam 100 tahun terakhir, sudah sekitar 20 gempa besar dan merusak terjadi di zona patahan ini. Berdasar penelitian, aktivitas gempa bumi di patahan Semangko rata-rata sekitar lima tahun sekali. Meski magnitudo gempa bumi di zona patahan itu relatif kecil, dampaknya bisa sangat berbahaya. Ini disebabkan sumbernya di daratan yang berdekatan dengan kawasan permukiman.

Sebagai kawasan yang sangat rawan gempa bumi, daerah Sumatera Barat akan selalu menjadi kawasan yang sering diguncang gempa bumi. Oleh karena itu, kita dituntut lebih serius dalam memperbaiki sistem penanganan bencana alam, baik dalam memperbaiki sistem pamantauan gempa bumi, pembuatan peta rawan gempa bumi, menyusun peta mikrozonasi gempa bumi, merencanakan bangunan tahan gempa bumi, maupun pendidikan masyarakat melalui sosialisasi mitigasi bahaya gempa bumi. Jatuhnya banyak korban gempa bumi sebenarnya disebabkan kurang pahamnya masyarakat dalam menghadapi gempa bumi. (*)

Deklarasi Pembentukan Provinsi Jambi Ditinjau dari Aspek Hukum Tata Negara

Oleh: Rozali Abdullah (Jambi Ekpres)


PERJUANGAN rakyat Jambi melalui Badan Kongres Rakyat Jambi (BKRD), untuk mewujudkan Daerah Otonom Tingkat I Provinsi Jambi, adalah suatu perjuangan yang sangat heroik, penuh pengorbanan dan tantangan, baik yang berasal dari luar, maupun dari dalam sendiri. Perjuangan rakyat Jambi untuk mewujudkan Daerah Otonom Tingkat I Provinsi Jambi, mirip dengan perjuangan bangsa Indonesia dalam mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya, bukanlah merupakan hadiah dari penjajah Jepang dan Belanda, tetapi adalah merupakan hasil perjuangan yang heroik dari bangsa Indonesia sendiri.

Demikian juga rakyat Jambi, terwujudnya Daerah Otonom Tingkat I Provinsi Jambi, bukanlah hadiah dari pihak manapun, tetapi merupakan hasil perjuangan yang heroik dan gigih dari rakyat Jambi, melalui BKRD, yang menuntut hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sendiri, sebagaimana dijamin oleh Pasal 131 ayat 2 UUDS 1950 yang berbunyi: “daerah diberikan otonomi seluas-luasnya, untuk mengurus rumah tangganya sendiri”.

Sesudah bertahun-tahun berjuang mnenutut diwujudkannya Daerah Otonom Tingkat I Provinsi Jambi, melalui bermacam-macam cara, namun hasilnya belum memenuhi harapan rakyat Jambi. Pada puncaknya, lahirlah RESOLUSI BKRD 6 JANUARI l957, yang memuat deklarasi pembentukan Daerah Otonom Tingkat I Provinsi Jambi, yang antara lain berbunyi: “Menyatakan Daerah Keresidenan Jambi, menjadi Daerah Otonom Tingkat I , yang berhubungan langsung kepada Pemerintah Pusat”.

Resolusi BKRD 6 januari l957 yang memuat deklarasi pembentukan Daerah Otonom Tingkat I Provinsi Jambi, ternyata telah menimbulkan dampak psychologis yang sangat luas, terutama terhadap Pemerintah Pusat. Dengan adanya resolusi tersebut Pemerintah Pusat baru menyadari bahwa:

Perjuangan rakyat Jambi menuntut dibentuknya Derah Otonom Tingkat I Provinsi Jambi, adalah perjuangan sungguh-sungguh, yang didukung oleh seluruh rakyat Jambi.

Hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah serndiri, adalah merupakan hak setiap daerah, yang dijamin oleh Pasal 131 ayat (2) UUDS l950, yang berbunyi:”Kepada daerah-daerah diberikan otonomi seluas-luasnya, untuk mengurus rumah tangganya sendiri”.

Pergolakan yang terjadi di beberapa daerah, antara lain, tampilnya Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Garuda di Sumatera Selatan, Dewan Gajah di Sumatera Utara dan Permesta di Sulawesi, membuat Pemerintah Pusat merasa semakin mendapat tekanan untuk memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap berbagai permasalahan yang timbul di daerah-daerah.

Akhirnya Pemerintah Pusat mengambil keputusan menyetujui tuntutan rakyat Jambi, untuk membentuk Daerah Otonom Tingkat I Provinsi Jambi, secara legal formal, melalui UU Darurat No.l9 Tahun l957 tentang Pembentukan daerah-daerah swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau, yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang melalui UU No.61 Tahun l958. Dengan diundangkannya undang-undang tersebut diatas, maka secara de facto dan de yure, Daerah Otonom Tingkat I Provinsi Jambi resmi dibentuk.

Rakyat Jambi tidak menggunakan tanggal diundangkannya UU Darurat No.19 Tahun l957 sebagai hari jadi Provinsi Jambi, tetapi menggunakan tanggal dikeluarkannya Resolusi BKRD yang memuat deklarasi pemebentukan Daerah Tingkat I Provinsi Jambi, yaitu tanggal 6 Januari l957, untuk mengenang perjuangan heroik rakyat Jambi, melalui BKRD, yang penuh tantangan dan pengorbanan.

Deklarasi Pembentukan Provinsi Jambi, ditinjau dari aspek Hukum Tata Negara.

Perjuangan rakyat Jambi melalui BKRD untuk mewujudkan Provinsi Jambi sekarang ini, bukanlah suatu perjuangan yang mudah. Suatu perjuangan yang menghadapi banyak tantangan dan rintangan. Hambatan tidak saja berasal dari luar, tetapi juga berasal dari dalam daerah sendiri.

Pada mulanya rakyat Jambi terpecah menjadi 3 kelompok dalam menyikapi masalah masa depan Daerah Jambi. Ada yang menginginkan agar Daerah Jambi, tetap berada dalam lingkungan Daerah Provinsi Sumatera Tengah, ada pula yang menginginkan bergabung dengan Provinsi Sumatera Selatan dan ada yang ingin membentuk Daerah Otonom Provinsi Jambi, dengan melepaskan diri dari Provinsi Sumatera Tengah. Pada mulanya faksi-faksi ini bersikukuh dengan pendirianya masing-masing, sehingga sulit sekali mencari titik temu. Berkat kegigihan dan kesabaran tokoh-tokoh pemuda dan tokoh-tokoh masyarakat waktu itu, melalui beberapa kali musyawarah yang sangat alot, akhirnya berkat bimbingan dan ridho dari Tuhan Yang Maha Esa, rakyat Jambi sepakat untuk memperjuangkan terbentuknya Daerah Otonom Tingkat I Provinsi Jambi.

Hambatan dari luar terutama datang dari Pemerintah Pusat, yang waktu itu sangat sentralistik, dan pihak militer yang selalu mengutamakan pendekatan keamanan, tampa mempertimbangkan hak rakyat Jambi, sedangkan Provinsi Sumatera Tengah sendiri nampaknya belum ikhlas melepas Daerah Jambi, menjadi Daerah Otonom Tingkat I Provinsi Jambi, lepas dari Provinsi Sumatera Tengah.

Waktu itu ada yang menuduh bahwa perjuangan rakyat Jambi untuk melepaskan diri dari Provinsi Sumatera Tengah dan menjadikan dirinya provinsi sendiri, secara yuridis/administratif melanggar ketentuan yang ada, atau dengan kata lain perjuangan rakyat Jambi dapat dikatakan “ilegal”. Disamping itu ada pula yang menuduh bahwa perjuangan rakyat Jambi tersebut, merupakan gerakan “separatis”.

Kedua tuduhan tersebut adalah tidak benar dan tidak beralasan sama sekali, karena apabila dilihat dari sudut pandang Hukum Tata Negara, perjuangan rakyat Jambi tersebut, adalah merupakan suatau perjuangan untuk menuntut hak mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerahnya sendiri, sebagaimana dijamin oleh konstitusi, yaitu Pasal 131 UUDS 1950, yang berbunyi:

Ayat (1) : “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, dengan bentuk , susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam sistim pemerintahan negara”.

Ayat (2): “Kepada daerah-daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri”.

Ternyata Pasal 131 UUDS l950 tersebut diatas tidak mengatur sama sekali persyaratan, mekanisme dan tatacara pembentukan daerah otonom yang baru. Selanjutnya apabila kita lihat pula UU No.1 Tahun l957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yang berlaku waktu itu, juga tidak mengatur tentang persyaratan, mekanisme dan tatacara pembentukan daerah otonom baru. Apabila kita perhatikan Pasal 131 ayat (1) UUDS l950 tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa UUDS l950 hanya menentukan bahwa pembentukan suatu daerah otonom baru, ditetapkan dengan suatu undang-undang. Dengan demikian tidak ada samasekali ketentuan peraturan perundang-undangan, baik dalam UUDS l950, maupun dalam UU No.1 Tahun l957, yang mengatur persyaratan , mekanisme dan tatacara pembentukan daerah otonom yang baru.

Praktek yang berlaku selama ini, dalam pembentukan daerah otonom yang baru, hanya ditetapkan dengan undang-undang atas usul Pemerintah. Usulan Pemerintah didasarkan pada pertimbangan perkembangan ketatanegaraan dan hasrat rakyat di daerah yang bersangkutan. Seperti kita ketahui, pemecahan Provinsi Sumatera menjadi 3 provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Tengah dan Provinsi Sumatera Selatan, hanya dsitetapkan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Dengan tidak adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang persyaratan, mekanisme dan tatacara pembentukan daerah otonom baru, maka apa yang diperjuangkan oleh rakyat Jambi, melalui BKRD untuk membentuk Daerah Otonom Tingkat I Provinsi Jambi, tidak dapat dikatakan “ilegal”, karena tidak ada aturan hukum yang dilangggar. Berkenaan Resolusi BKRD 6 Januari l957 yang memuat deklarasi pembentukan Daerah Otonomi Tingkat I Provinsi Jmbi, adalah merupakan perwujudan dari hasrat rakyat Jambi, untuk memperoleh haknya, guna mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sendiri, sebagaimana dijamin oleh Pasal 131 ayat (2) UUDS l950.

Deklarasi rakyat Jambi melalui Resolusi BKRD, berkenaan dengan pembentukan Daerah Otonom Tingkat I Provibnsi Jambi, prinsipnya sama dengan Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia, yang diucapkan pada tanggal 17 Agustus l945, mendapat dukungan dari sebagian besar negara-negara didunia, terkecuali negara penjajah seperti Belanda, karena bangsa-bangsa didunia menyadari bahwa: “kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa”.

Demikian pula deklarasi rakyat Jambi, berkenaan pembentukan Daerah Otonom Tingkat I Provinsi Jambi, akhirnya diterima dan disetujui oleh semua pihak, terutama Pemerintah Pusat sendiri, karena akhirnya mereka menyadari bahwa: “hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah sendiri, adalah merupakan hak setiap daerah”, yang dijamin oleh Pasal 131 ayat (2) UUDS l950.

Mengenai tuduhan “separatis” adalah suatu tuduhan yang tidak berdasar samasekali, karena yang dimaksud dengan separatis, adalah suatu gerakan untuk memisahkan diri dari negara induknya dan membentuk negara sendiri yang berdaulat keluar dan kedalam. Sedangkan perjuangan rakyat Jambi untuk membentuk Daerah Otonom Tingkat I Provinsi Jambi hanya bertujuan untuk melepaskan diri dari Provinsi Sumatera Tengah, namun tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonersia. Hal ini terlihat dengan nyata, dari beberapa pernyataan rakyat Jambi, baik melalui BKRD, maupun organisasi lainya, seperti Organisasi Pemuda dan Partai Politik, selalu menyatakan bahwa pembentukan Daerah Otonom Tingkat I Provinsi Jambi, tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sudah sepatutnya generasi muda Jambi, mengetahui dan menghayati sejarah perjuangan rakyat Jambi, dalam mewujudkan terbentuknya Provinsi Jambi yang sama-sama kita cintai. Perjuangan tokoh-tokoh pemuda dan tokoh-tokoh masyarakat waktu itu, sangat heroik dan penuh pengorbanan. Untuk menghargai jasa-jasa mereka, kita harus bersama-sama membangun Jambi, sesuai dengan bidang dan kemampuan kita masing-masing, untuk mewujudkan JAMBI YANG MAJU DAN MANDIRI.

Terima Kasih