Paling tidak sejak merdeka tahun 1945, Indonesia telah mengumandangkan ke rakyatnya sendiri dan dunia luar bahwa ia adalah negara hukum. Berarti, lebih kurang 64 tahun, hukum di negeri ini – seharusnya – telah menjadi bahagian hidup bangsa Indonesia. Hanya saja, apakah hukum sudah betul-betul tegak di negeri ini? Kalau belum tegak, kenapa? Siapa pahlawan penegak hukum antikorupsi kita ? Adalah menarik untuk dijadikan satu kajian dalam rangka peringatan Hari Antikorupsi di tahun ini.
Hukum dan Penegakannya
Di era reformasi ini – bila betul eranya reformasi – yang ditunggu-tunggu masyarakat adalah penegakan hukum; bukan “bahasa hukum”yang terlalu elastis; bahkan ada pasal dan klausal yang terkesan kurang tegas alias bertele-tele sehingga membuat ruang yang menganga untuk multi tafsir.Jangankan masyarakat awam, para akademisi hukum saja berdebat tentang makna pasal-pasal di dalam perundang-undangan kita. Hal itu disebabkan antara lain adanya pasal “karet” tempat bermain empuk bagi politisi hukum, terutama bagi black lawyers yang suka nongkrong di arena abu-abu.
Hukum, bagaimanapun indah bahasa yang digunakan – bila tidak diimplementasikan secara baik di tengah-tengah masyarakat, maka ia belum akan berarti apa-apa dan jauh dari makna sejarah yang melatarbelakangi dan filosofi hukumnya sendiri ketika dilahirkan. Dalam rangka penegakan, hukum dalam kaitannya dengan pemerintahan menurut Abu Hasan al-Mawardi dalam kitab: al-Ahkam al-Sulthaniyyah , begitu juga dalam pandangan Ibn Taimiyyah, Ibn Khaldun dan Muhammad Abduh sebagaimana dikutip oleh Dr.Ahmad Syalabiy dengan bukunya: al-Siyasah fi al-Fikr al-Islami.Mausu’ah al-Nidzam wa al-Hadharah al-Islamiyyah,diperlukan oleh masyarakat agar mereka dapat hidup dalam kedamaian dan berkeadilan. Apa yang tersebut terakhir inilah pula yang sulit dapat diwujudkan manusia. Karena: 1) manusia sebagai makhluk sosial penuh kepentingan-kepentingan antara yang satu dengan yang lainnya,dan kadangkala bahkan sering terjadi seorang mengorbankan saudaranya untuk kepentingan dirinya; 2) ketauladan pemimpin kepada rakyat (top- down) relatif rendah; 3) kemauan/tuntutan hati kecil penguasa untuk menegakkan hukum antara ya dan tidak (bain-bain; to do things halfway); 4) rakyat menerima saja perlakuan semena-mena dari atas ; tidak ada koreksi dari bawah (button up). Ketika inilah hukum sering tidak menjadi komando/panglima dalam mengatur tata kehidupan manusia yang sarat dengan kepentingan , baik individual/personal maupun kolektif/jama’i. Jadi, hukum dan keteraturan hidup dalam masyarakat merupakan kausalitas.
Selanjutnya, hukum itu akan terasa manfa’atnya bagi masyarakat, kalau ia ditegakkan.Dengan pegertian, semua manusia pada strata apapun, sama kedudukannya di mata hukum. Tidak ada spesialisasi dan spesifikasi penegakan hukum bagi penguasa dan they have yang berbeda dengan pemberlakuan hukum bagi rakyat jelata dan orang yang papa.Kalau sudah demikian pemerataan pelaksanaan hukum yang diperoleh masyarakat, barulah hukum dapat dikatakan tegak di tengah-tengah masyarakat.
Akan tetapi pada kenyataannya, penegakan hukum di negeri kita belumlah seutuhnya menjadi kenyataan dengan baik dan sempurna; masih terseot-seot.dan tertatih-tatih karena dihinggapi oleh mafia hukum.Hal itu terbukti dengan masih terdengarnya rintihan rakyat dimana-mana, bila mereka berurusan dengan penegak- penegak hukum. Dewasa ini banyak bermunculan mafia hukum dan makelar kasus (markus) di peradilan. Selama 64 tahun kita merdeka, selama itu pula bangsa kita “berkenalan” dengan hukum yang dipunyainya sendiri. Dalam hal itu, bangsa kita baru pada tataran “mengenal hukum”; belum sampai pada titik puncak yakni “mencintai hukum”. Bagaimana rasa cinta akan tumbuh, kalau yang dicintai tidak mendidik dan memperhatikan yang mencintai, terutama ketika yang dicintai ditolak cintanya. Jadilah yang dicintai bertepuk sebelah tangan. Agaknya, tidaklah berlebih-lebihan penggambaran seperti ini; yang jelas begitulah kondisi real antara penegak hukum dengan rakyat di negara kita. Agar cinta rakyat tidak selalu menggantung, maka aparat penegak hukum perlu memberikan serta membuktikan kata cintanya berupa penegakan hukum yang bukan sekedar lip service lagi.
Pahlawan Penegak Hukum, Siapakah Dia?
Hukum tidak bisa tegak dengan sendirinya. Karena hukum itu mengikat masyarakat , maka masyarakat baru dapat terikat bila ada penegaknya yang serius (man behind the law). Dengan munculnya kasus Bibit-Chandra versus Anggoro-Anggodo yang melibatkan aparat penegak hukum dipertontonkan secara “telanjang”oleh Mahkamah Konstitusi pada bulan Nopember yang lalu, membuat masyarakat tersentak di segala lini yang menggambarkan kepada publik bahwa sudah sebegitu cacatnya wajah penegak hukum kita baik secara individu maupun sebagai institusi, sekalipun yang berbuat itu adalah oknum yang sudah lupa-lupa ingat dengan sumpah jabatannya.
Kasus yang terjadi ini, bukanlah merupakan persiteruan antara lembaga-lembaga penegak hukum semata. Akan tetapi kelihatannya sudah melampaui sekedar itu. Harga diri sudah mulai dipetaruhkan, sekalipun menegakkan benang basah. Agaknya di balik itu semua, ada hikmah yang lebih besar yang bisa ditangkap oleh orang-orang arif. Kejadian ini bagaikan gunung es yang sedang mencair yang menginformasikan kepada pengelola negara dan bangsa ini bahwa hukum
dan penegakannya sedang berada pada titik nadir.Justeru itu, sudah waktunya – jangan abai dan lalai lagi – untuk membenahi problematika hukum kita secara serius, kalau masa depan bangsa ini mau diselamatkan.
Sebenarnya, kalau kita dapat memberi ruang kepada otak dan hati kita untuk berpikir shorih bahwa sudah beberapa kali petinggi negara ini diingatkan oleh orang yang masih bening kalbunya sejak dari orde lama ( berkuasa: lebih kurang selama 20 tahun), kemudian orde baru ( mengendalikan bangsa ini selama 32 tahun) dan orde reformasi (sudah memimpin selama lebih 10 tahun) dengan kritik yang sifatnya membangun ketika memberi isyarat bahwa hukum kita sudah lari dari relnya.Tapi sayang, peringatan yang diberikan anak bangsa yang menaruh perhatian terhadap \masa depan, diabaikan. Masih segar diingatan kita, koreksi yang dilakukan Petisi 50 terhadap penyimpangan penyelenggaraan negara.Koreksian itu, di samping tidak didengar oleh Pemerintah, malah berakhir dengan tragis; pengoreksinya dibuikan. Maka jadilah kesalahan-kesalahan itu dianggap benar.Berakumulasilah penyelewengan yang dibenarkan itu selama berpuluh-puluh tahun, termasuk masalah hukum. Jadi, apa yang kita rasakan sekarang bukanlah produk penyelewengan sekarang saja, tapi ia adalah bongkahan-bongkahan penegakan hukum yang tidak clear dan belum clean serta belum pernah tuntas.selama beberapa dasawarsa. Itulah sebab utama-- sekarang-- penyelesaiannya menjadi sangat rumit. Ibarat batu, sudah menggunung; laksana air, sudah banjir bandang.
Justeru itu, penegakan hukum hari ini akan dapat dilakukan oleh orang yang punya komitmen tinggi yang takut dengan Tuhan secara vertikal, Zat yang selalu mengintip apa saja perbuatan hambanya dan oleh orang yang segan dengan rakyat pembawa suara Tuhan secara horizontal. Siapakah dia, kalau bukan penegak hukum yang masih mempercayai adanya “hari pembalasan”.kalau tidak di dunia, di akherat sudah pasti. Palu yang pernah mereka ketuk ketika memutus perkara, mulai dari penyelidikan-penyidikan, metoda penuntutan yang dipakai serta vonis yang diputuskan, pasti akan ditayang-ulang di Mahkamah Rabb al-Jalil nanti untuk dipertanggungjawabkan, adakah keputusan yang telah dipalukan itu berdasarkan hati nurani dan bukti kuat; bukan hasil rekayasa. Kalbu-kalbu jernih yang belum kena polusi seperti inilah yang dapat tersentuh oleh perlunya penegakan hukum secara murni dan konsekwen di negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ini. In sya’A llah.yuridu bi iqamat al-hukm fi biladina hadzihi.